Category Archives: aqidah kontemporer

Hukum Sentuhan Kulit / Jabat Tangan

Hukum Sentuhan Kulit / Jabat Tangan

I. Hukum Asal
Hukum bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu termasuk berjabatan tangan hukumnya haram. Paling tidak itulah yang sering kita dengar dan itulah yang sekarang ini cukup populer di kalangan ummat Islam dan juga di kalangan aktifis dakwah.
Sehingga pemahaman seperti itulah yang selama ini dipegang dan dianggap satu-satunya hukum yang bersifat mutlak, jelas dan tidak ada dalil lainnya yang berbeda atau berlawanan. Sehingga umumnya mereka yang paham dan menjalankan syariah tidak akan mau berjabatan tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Mereka sebisa mungkin menghindari sentuhan kulit dengan wanita. Bahkan dalam banyak kesempatan, dengan cara yang halus mereka menolak ajakan untuk menjabat tangan wanita. Sehingga ketika ada seorang aktifis yang kelihatan bersalaman dengan wanita non mahramnya, akan menimbulkan pertanyaan kritis dan perasaan aneh di kalangan pendukungnya.
II. Kajian Kritis
Tapi sebagai sebuah kajian dialogis dari sisi syariah dan fiqih muqaranah (perbandingan), tidak ada salahnya bila kita meneliti tentang sejauhmana kekuatan dalil pengharamannya ? Dan lebih jauh, apakah keharaman sentuhan kulit itu berlaku mutlak atau ada juga dalil shahih lain yang membolehkan ? Bagaimana kajian fiqih yang kritis dalam masalah ini ? Lalu apa pandangan dan pendapat para ulama salafus-shalih tentang masalah ini ? Adakah riwayat dari Rasulullah SAW tentang sentuhan kulit non mahram ini ? Benarkah Rasulullah SAW pernah menyentuh kulit wanita non mahram ?
Mari kita kupas masalah ini dengan mengutip dalil hadits dan kajian-kajian fiqih para ulama :
1. Yang mengharamkan secara Mutlak
Para ulama Jumhur termasuk keempat imam mazhab umumnya mengatakan bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram hukumnya haram. Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada banyak dalil yang erserak disana sini. Baik yang bersifat naqli atau pun yang aqli. Diantaranya yang sering dikemukakan antara lain adalah dalil-dalil berikut ini :
a. Menutup Pintu Fitnah (saddudz-dzari`ah)
Dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari`ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya.
b. Hadits Rasulullah SAW
Lebih Baik Ditusuk Jarum Besi Dari Pada Menyentuh Wanita
`Dari Ma`qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.`(HR. Thabrani dan Baihaqi)
c. Rasulullah SAW tidak menjabat tangan perempuan ketika bai`at
Dari asy-Sya`bi bahwa Nabi saw. ketika membai`at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, `Aku tidak berjabat dengan wanita.` (HR Abu Daud dalam al-Marasil)
Aisyah berkata, `Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, `Aku telah membai`atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai`at itu; beliau tidak membai`at mereka melainkan dengan mengucapkan, `Aku telah membai`atmu tentang hal itu.`
2. Yang Membolehkan
Namun bila kita cermati, ternyata tidak semua ulama sepakat mengharamkan hal itu. Ada juga beberapa hujjah yang terkadang muncul untuk tidak memutlakkan keharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Misalnya bila wanitanya adalah orang yang lanjut usia, tua atau sudah uzur.
Di luar itu, meski umumnya dalil-dalil yang kita kenal umumnya mengaharamkan, namun kita harus jujur bahwa ternyata ada juga hujjah yang bisa dikemukakan untuk membolehkan hal itu. Sehingga meski bukan pendapat yang populer, paling tidak perlu kita pahami adanya wacana lain yang -sebenarnya- juga tetap berdasarkan nash-nash yang sharih dan shahih. Hanya saja pendapat ini kurang populer di kalangan ulama Islam.
Diantaranya dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah :
a. Hadits Ummu Athiyyah Tentang Rasulullah SAW Menjabat Tangan Wanita Ketika Bai`at
“Dari Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai`at, Ummu Athiyah berkata: Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, `Ya Allah, saksikanlah.“(Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih
2. Hadits bahwa Budak Wanita Memegang Tangan Rasulullah SAW
“Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: `Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka.` (HR. Bukhari dalam Shahih-nya pada `Kitab al-Adab`)
Dalam riwayat lainnya juga ada hadits senada yaitu :
“Dari Anas juga, ia berkata:`Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka.` (HR. Imam Ahmad)
Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.
Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri` dan untuk diteladani:
3. Hadits Bahwa Rasulullah SAW Tidur Di Pangkuan Ummu Haram
Dari Anas bahwa Nabi saw. masuk ke rumah Ummu Haram binti Milhan dan beliau diberi makan. Ummu Haram adalah stri Ubadah bin Shamit, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau (dari kutu) lalu Rasulullah SAW tertidur …` (HR Bukhari dalam Kitabul jihad Was-Sair bab Ad-du`au biljihadi Wasysyahadatu lirrijali wannisa` no. 2580 dan Kitabul Isithsan no. 5810).
Dari Anas dari bibinya Ummu Haram binti Milhan, Ummu Haram berkata,`Rasulullah SAW tidur di dekat aku lalu bangun dan tersenyum …(HR Bukhari dalam Kitab Al-Jihadu Wassair bab Fadhlu Man Yusri`u Fi sabilillah… no. 2590).
Oleh Ibnu Abdil Barr, hadits ini dikomentari bahwa Ummu Haram itu saudara sesusuan Rasulullah SAW. Dia juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW itu ma`shum dan tidak punya syahwat sehingga boleh bersentuhan dengan non mahram. Sehingga hal itu merupakan kekhususan pada diri Rasulullah SAW saja.
Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi `Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram.
Beliau berkata: `Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa`ad bin Abi Waqash, `Ini pamanku` karena Sa`ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa`ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.`
4. Hadits Rasulullah SAW yang masuk ke tempat Ummu Sulaim.
Diceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, `Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.` Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi`r Ma`unah.` (Lihat kitab Shahih Bukhari)
5. Makna `Menyentuh` Bukan Sekedar Bersentuhan
Kalimat `menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya` itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar`iyah seperti Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima`) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: `Laamastum an-Nisat` (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, `Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur`an dipakai sebagai kiasan untuk jima` (hubungan seksual).
Secara umum, ayat-ayat Al-Qur`an yang menggunakan kata `al-mass` menunjukkan arti jima` bukan sekedar bersentuhan kulit saja. Seperti firman Allah yang diucapkan Maryam: `Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pemah disentuh oleh seorang laki-laki pun …` (Ali Imran: 47) `Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…` (al-Baqarah: 237).
Para ulama salaf juga tidak memandang bahwa `al-mass` itu sebagai sentuhan kulit belaka, tapi dengan syahwat. Seperti mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Begitu juga dengan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal `mulaamasah` atau `al-lams` dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Sedangkan Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud dengan `al-mass` itu adalah jima`. Bangsa Arab juga mengatakan, yang dimaksud dengan `al-mass` adalah jima`. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima` (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.
Sanggahan Dari Kelompok Pertama (Yang Mengharamkan) Atas Dalil Dari Kelompok Kedua (Yang Membolehkan):
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari mengomentari hadits yang digunakan kelompok kedua yang bunyinya sbb : `Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka.`
Bahwa yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu`, karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa` (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa`at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan `mengambil/memegang tangannya` itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya. Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu`nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong.`
2. Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa hadits tentang Rasulullah SAW tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu …`
Bahwa hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.
Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya.
Bahkan Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa Ummu Haram itu adalah saudara sesusuan Rasulullah SAW, `Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan `sebagai ibu susuan` atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram.` Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar …
Yang lain lagi berkata, `Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau.`
3. Sanggahan atas maksud hadits yang menjadi dalil kelompok kedua yaitu `Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: `Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka.` (HR. Bukhari dalam Shahih-nya pada `Kitab al-Adab`)
Ibnu Hajar mengatakan bahwa maksud hadits itu bahwa (budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka ) itu semata-mata menunjukkan bahwa Rasulullah SAW itu orang yang tawadhdhu`, kasih sayang dan ketundukan.
Namun meski apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan `maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka` menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.
Sanggahan Dari Kelompok Kedua atas dalil kelompok pertama
1. Bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai`at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai`at.
2. Ada ketetapan bahwa apabila Nabi saw. meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan – secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.
3. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak menjabat tangan wanita saat bai`at. Hanya dikatakan bawa `perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih`. Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha`) atau terdapat `illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath`i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur`anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?
4. Dalil yang terkuat dalam pengharaman setuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari`ah), Tetapi dalam kondisi aman – dan ini sering terjadi – maka dimanakah letak keharamannya?
Pendapat Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatawa Mu`ashirah : `
…Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya (AL-qaradawi) adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu ditekankan:
Pertama, Bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. – tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Perhatian
Apa yang kami sampaikan disini hanyalah amanah ilmiyah yang bersifat dokumentasi pendapat para ulama dan wacana-wacananya, sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghalalkan yang haram dan sebaliknya. Juga bukan untuk menimbulkan kegegeran, kegemparan aau silang pendapat di kalangan ummat Islam. Karena khilaf diantara sekian pendapat dalam ilmu fiqih adalah sebuah hal yang tidak mungkin dihindari. Dan seseorang tetap akan mendapat pahala atas ijtihadnya meski nantinya terbukti salah. Sedangkan yang benar akan mendapatkan dua pahala. Dan untuk itu kita tetap wajib untuk berpegang kepada pendapat yang lebih rajih dan aman dari resiko, tanpa menafikan adanya kenyataan perbedaan interpretasi di kalangan ulama.

Menuduh Kafir

Menuduh Kafir

Salah satu fenomena yang cukup menghebohkan dunia Islam saat ini adalah adanya sekelompok umat yang aktif mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, atau yang tidak berbaiat kepada imam mereka sebagai kafir, murtad dan keluar dari Islam.
Bahkan terkadang dosa-dosa yang dilakukan oleh umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar oleh mereka untuk memposisikan umat Islam di dalam kekafiran.
Lebih jauh lagi, para pemimpin negeri Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan kemungkaran. Jadi dalam pandangan mereka, tidak harus menjalankan kemungkaran, tapi sekedar mendiamkan kemungkaran pun sudah bisa membuat seseorang atau sebuah pemerintahan menjadi kafir.
Maka setiap kali berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan bicaranya itu dengan julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya dirinya saja yang berhak menganut agama Islam, sedangkan orang lain sangat rentan untuk menjadi kafir.
1. Latar Belakang Munculnya Takfir
Untuk bisa menanggapi fenomena tersebut, tidak ada salahnya bila kita coba untuk menelusuri latar belakang dan motivasi yang menyebabkan sebagian saudara kita melakukannya. Sebab dengan mengenal latar belakang dan motivasinya, kita bisa memahami alur berpikir mereka. Dan dengan itu, kita pun bisa melakukan koreksi dan memberikan masukan yang positif atas pendapat itu.
a. Fenomena tersebarnya kekufuran, kemaksiatan serta kemurtadan di tengah masyarakat Islam memang sudah sedemikian parah. Para penyeru kebatilan menarikan tarian syetan tanpa malu dan tanpa harga diri di depan hidung kita. Mereka dengan luluasa memanfaatkan media informasi untuk menyiarkan dan menyebarkan kebatilan tanpa ada upaya pencegahan yang berarti. Seks bebas, pelacuran, pemerkosaan, pencurian, khamar, narkotika, kolusi di antara penguasa serta pelecehan hukum dan agama telah membuat darah pendukung takfir ini bergejolak untuk bertindak.
b. Tingkat toleransi dari sebagian ulama yang terlalu berlebihan mengakibatkan tidak sabarnya kelompok pentakfir untuk segera mengeluarkan vonis kafir kepada siapa saja yang dipandang keluar dari ajaran Islam
c. Umumnya mereka yang suka mengkafirkan orang lain itu adalah generasi muda punya niat ikhlas, semangat membara, fitalitas yang tingggi, taat beribadah, punya semangat amar ma’ruf nahi mungkar dan punya rasa memiliki atas umat ini yang banyak. Dan paling utama adalah rasa keprihatinan mereka atas apa yang kita saksikan termasuk kerusakan moral, akhlaq, adab Islam, kemurtadan dan tekanan kekuatan kafir. Semua problem itu demikian menyiksa batin mereka sehingga keluarlah mereka dari kearifannya dan masuk ke wilayah yang out of control
d. Namun energi yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kemampuan syar’iyah yang mendasar. Kurangnya latar belakang kafaah syar’iyah dan pendalaman bidang hukum Islam telah membuat mereka cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat. Selain itu karena kurang luasnya wawasan mereka, sehingga seringkali mereka hanya menemukan sepotong dalil dan terluput dari dalil lainnya. Akibatnya pemahaman mereka menjadi sepotong-sepotong, tidak lengkap dan tidak komprehensif.
2. Bahaya Menuduh Kafir Kepada Seorang Muslim
Dr. yusuf al-Qaradawi ketika menjelaskan tentang bahaya dari menuduh atau mengkafirkan seorang muslim, menjelaskan beberapa konsekuensi yang berat. Padahal setiap orang yang berikrar dan mengucapkan syahadat telah dianggap muslim, dimana nyawa dan hartanya terlindung. Dalam hal ini tidak perlu diteliti batinnya. Menuduh seorang muslim sebagai kafir, hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih berbahaya lagi. Di antaranya ialah:
• Bagi istrinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi istri orang kafir.
• Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam dibawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan tanggungjawab orangtua. Jika orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab ummat Islam.
• Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai pelajaran.
• Dia harus dihadapkan kemuka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad.
• Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
• Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam neraka.
Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu atau seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya. Maka, sekali lagi amat berat dan berbahaya mengafirkan orang yang bukan (belum jelas) kekafirannya.
3. Yang Berhak Dikafirkan
• Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
• Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.
• Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.
Al-Imam Ghazali pernah berkata: “Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata: “Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam.” Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
4. Syarat Ke-Islaman : Ikrar Dua Kalimat Syahadat
Syarat utama bagi orang yang baru masuk Islam ialah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu, “Asyhadu allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah.” Barangsiapa yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisannya, maka dia menjadi orang Islam. Dan berlaku baginya hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia mengingkari. Karena kita diperintahkan untuk memberlakukan secara lahirnya. Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil dari hal itu adalah ketika Nabi saw. menerima orang-orang yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw. tidak menunggu hingga datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).
Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang mengucapkan, “Laa ilaaha illallaah,” Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, “Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah.” Usamah lalu berkata, “Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kamu mengetahui isi hatinya?”
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah saw, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi saw. bersabda, “Mereka akan melakukan (mengerjakan) sedekah dan jihad.”
5. Dosa Besar Tidak Merusak ke-Islaman
Dalam paham aqidah ahlisunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir. Kecuali bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewaiban shalat, zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah shalat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban tersebut.
Jadi bila ada seorang muslim shalatnya jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa shalat itu wajib, Cuma masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari Islam.
Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah Mu`tazilah. Menurut paham ini tuhan berjanji untuk meberi pahala kepada yang berbuat baik dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan mati sebelum bertaubat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.
Dalam aqidah ahlisunnah, bila seorang berbuat dosa maka dicatat amal buruknya itu dan bila dia bertobat maka tergantugn Allah, apakah akan diterima tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia tidak menjadi kafir lantaran melakukan dosa meski sering diulangi.
6. Kafir Yang Bukan Kafir
Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini :
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(QS. Al-Maidah : 44)
Maka dalam pandangan mereka, muslim mana pun sudah dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang tidak menjalankan hukum Islam.
Sedangkan dalam pemahaman aqidah Ahi Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan gugurnya status ke-Islaman dan mrtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas ra berkata,”Kafir yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada Allah dan hari akhir”. Hal yang sama juga dikatakan oleh Thaus.
Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafir bukanlah kafir yang sesungguhnya.
Sedangkan Ibnul-Qayyim menerangkan tentang kandungan ayat itu sbb :”Kufur itu ada dua macam. Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan kekal. Sedangkan kuur ashfghar akan menjadikan pelakukanya diazab di neraka tapi tidak abadi selamanya.

Tabarruk

Tabarruk

Memohon berkah kepada seseorang atau benda tertentu merupakan suatu fenomena yang sudah membudaya di kalangan umat ini. Meskipun sebenarnya mereka perlu diberitahukan mana tabarruk yang masyru` (sesuai dengan syariat) dan mana yang tidak, agar umat tidak tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya.
Fenomena membawa air ke majlis taklim yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita, mungkin dilatarbelakangi oleh riwayat yang menjelaskan bahwa para sahabat di jaman Rasulullah SAW bisa membawa bejana air ketika beliau akan melaksanakan sholat untuk memohon berkah dari Rasulullah SAW .
Dari Anas RA ia berkata: Apabila Rasulullah SAW melaksanakan sholat shubuh, orang-orang madinah datang membawa bejana-bejana mereka, Setiap bejana bejana yang disodorkan kepada Rasulullah SAW, beliau selalu memasukkan tangannya ke dalam bejana tersebut, terkadang mereka membawanya pada shubuh yang sangat dingin tetapi Rasulullah SAW tetap memasukkan tangannya di dalamnya” (HR. Muslim 4/1812)
Dari Anas RA: sesungguhnya Rasulullah SAW datang ke Mina, kemudian beliau mendatangi Jumroh dan melemparnya, kemudian beliau kembali ke tempatnya di Mina dan menyembelih. Kemudian beliau berkata kepada tukang cukur : “Ambil” beliau mengisyaratkan ke sisi kanan kemudian sisi kiri kemudian beliau membagi-bagikannya kepada orang-orang”. Dalam riwayat yang lain: “Kemudian dimulai (pencukuran rambut) dari sisi kanan, lalu beliau membagikannya satu atau dua helai rambut kepada orang-orang. Kemudian beliau berkata: “yang kiri” lalu dilakukan seperti itu, kemudian beliau berkata: “Ini, Abu tholhah” Kemudian menyerahkannya kepada Abu Tholhah” (HR Muslim 2/947)
Dari Anas bin Malik RA: Nabi biasa memasuki rumah Ummu Sulaim dan tidur di atas kasurnya sedangkan Ummu Sulaim sedang pergi. Anas berkata: “Pada suatu hari Rasulullah SAW datang dan tidur di atas kasur Ummu Sulaim, kemudian Ummu sulaim dipanggil dan dikatakan padanya: Ini adalah Nabi SAW tidur di rumahmu dan di atas kasurmu. Anas berkata : Ummu Sulaim datang dan Nabi sedang berkeringat, lalu keringatnya tersebut dikumpulkan di atas sepotong kulit kemudian Ummu Sulaim membuka talinya dan mulai meyerap keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam bejana, maka Nabi kaget dan berkata: Apa yang kamu lakukan Ummu Sulaim ? Ummu Sulaim berkata: Wahai Rasulullah kami mengharapkan berkahnya bagi anak-anak kami” Beliau berkata: Engkau benar (HR Muslim 4/1815)
Akan tetapi permasalahnnya bagi kita sekarang adalah : Apakah yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta berkah tersebut bisa juga kita lakukan juga dengan meminta berkah dari para kiyai atau tidak?�Semua masih menjadi perdebatan para ulama, karena ada yang membolehkannya namn tidak sedikit yang mengharamkannya.

2. Tabarruk Yang Dibolehkan
Adapun tabarruk dengan orang shaleh yang dibolehkan seperti :
• Menuntut ilmu dari mereka
• Minta didoakan oleh orang yang shaleh
• Mendengarkan nasehat oleh para ulama
• Berkumpul (mujalasah) dengan mereka dan mendengarkan hikmah, pengalaman, pengajaran dan nasehat mereka.
Ini adalah meminta keberkahan yang dibenarkan dalam syariat Islam dan juga tidak melanggar aqidah Islam.�
Para ulama yang punya ilmu agama yang mendalam dan luas, tentu saja harus kita mintai keberkahan dari ilmunya dengan cara menuntut ilmu dari mereka. Allah SWT memerintahkan kita untuk bertanya dan belajar dari mereka ini. Dan pada tindakan menuntu ilmu inilah kita mendapatkan keberkahan� dari mereka.
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.(QS. Al-Anbiya` : 7)
Demikian juga dengan meminta didoakan oleh orang yang shaleh, merupakan bentuk meminta keberkahan mereka. Dengan syarat, keshalehan mereka adalah keshalehan yang syar`i. Bukan orang yang masih bergelimang dengan kemungkaran, kemaksiatan, kesyirikan dan sejenisnya. Sehingga seseorang tidak mungkin dianggap sebagai orang shaleh sementara banyak sisi syariat yang tidak dijalankannya. Sebab keshalihan itu tidak dilambangkan dengan atribut, pakaian dan sejenisnya. Melainkan dengan perilaku dan akhlaq yang mencerminkan orang yang tersebut adalah hamba Allah SWT yang baik.
Sedangkan mengambil keberkahan dengan meminum sisa bekas air minumnya, merupakan masalah yang perlu dicermati secara lebih mendalam. Sebab meski ada contoh perilaku para shahabat dari Rasulullah SAW, namun tidak bisa secara general diterapkan begitu saja kepada orang lain. Sebab pada diri Rasulullah SAW ada beberapa kekhususan yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Beliau adalah seorang nabi yang paling mulia, bahkan level kemuliaan beliau jauh di atas para nabi yang pernah diutus Allah SWT ke muka bumi.�

3. Tabarruk Yang Diharamkan
Ada banyak sekali jenis tabarruk yang diharamkan dan bisa mengakibatkan praktek syirik.Misalnya bertabarruk kepada kuburan. Hukum ziarah ke kubur itu jelas dianjurkan dalam Islam. Karena didalamnya terkandung pesan agar kita ingat bahwa sebentar lagi kita pun akan ada di dalamnya. Dan semua orang pastilah akan menjadi penghuninya, cepat atau lambat. Meski ziarah kubur ini dahulu pernah dilarang, namun Rasulullah SAW kemudian menasakh pelarangan itu dengan sabda beliau :
Dari Buraidah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang silahkan berziarah” (HR. Muslim 2/672)
Dan di dalam rangka berziarah kubur itu, kita disunnahkan untuk berdoa, yakni mendoakan mayit yang ada di kubur itu. Dan sebagai makhluq yang sudah mati, tentu doanya bukan minta fasilitas kehidupan seperti punya anak, istri cantik, duit banyak, lulus ujian, diterima pekerjaan, dagangan laku atau terpilih jadi anggota legislatif. Mereka sudah tidak butuh semua itu di alam barzakh. Yang mereka butuhkan adalah keringan dari siksa kubur dan pahala yang akan membuat mereka bisa masuk surga.
Untuk itu maka Rasulullah SAW mengajarkan bila kita berziarah kubur untuk mendoakan mayat dengan lafaz
Dari ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW: “Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, “Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya -insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:” Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Namun keyakinan bahwa orang yang sudah mati itu lantas berdoa juga kepada Allah SWT untuk kebaikan kita, maka ada yang salah dalam memahaminya. Selain itu, menziarahi makam para wali itu harus dicermati dengan pemahaman akidah yang benar. Misalnya antara lain :�
• Bahwa orang yang sudah mati itu tidak bisa berdoa demi keselamatan dirinya sendiri, bahkan sibuk mengharapkan kiriman pahala bantuan dari orang yang masih hidup. Lalu bagaimana pula dia berdoa untuk keselamatan orang lain ?
• Bahwa kita dibolehkan meminta untuk didoakan oleh orang yang shaleh dan dekat hubungan dengan Allah SWT. Namun bila orang shalih itu sudah wafat, tentu saja sudah lain lagi urusannya. Sebab mereka yang sudah mati sudah tidak lagi berurusan dengan yang masih hidup.
• Bahwa meminta kepada mendoakan orang yang sudah wafat agar ruh orang mati itu mendoakan kita bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dan pada prakteknya, justru hal itu sangat sulit dibedakan dengan meminta kepada ruh orang mati. Minta istri, lulus ujian, dagangan laku, naik jabatan, terpilih jadi wakil rakyat dan seterusnya. Tentu saja meminta kepada selain Allah SWT adalah syirik yang harus dihilangkan.
• Dan sebenarnya, para wali yang diziarahi itu dulunya bukanlah tokoh sakti mandraguna yang punya sekian jenis ajian ghaib. Mereka itu adalah para pemimpin wilayah negeri Islam dalam sistem hukum negara Islam Demak. Istilah ‘wali’ yang disematkan kepada mereka bukanlah waliyullah yang umumnya dinisbatkan kepada orang ahli ibadat dan punya keistimewaan ini dan itu. Namun makna wali adalah pemimpin sebuah wilayah secara hukum dan administratif. Barangkali sekarang ini seperti gubernur. Hanya saja sistem hukumnya adalah hukum Islam. Itulah yang dikatakan para sejarawan tentang para wali songo itu.
Sedangkan cerita yang beredar di tengah masyarakat itu sebenarnya tidak pernah bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiyah. Dan alangkah naifnya bila sosok para pemimpin Islam dan penyebar Islam di tanah Jawa itu disamakan dengan tokoh dunia persilatan yang bisa terbang, menghilang, bisa membuat hal ghaib dan sejenisnya. Sungguh sebuah pemahaman keliru yang disengaja oleh pihak yang ingin mencoreng nama baik Islam.
Untuk itu cukuplah hadits Rasulullah SAW melarang kita melakukan praktek peribadatan di area makam orang shalih berikut ini :
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW telah melaknat orang-orang yang kerjanya ziarah kubur, orang yang menjadikan kuburan itu masjid dan meletakkan lampu di atasnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, Tirmizay, Ibnu Hibban).

Hukum Pengobatan Alternatif

Hukum Pengobatan Alternatif

1. Perbedaan Pendapat Ulama Untuk Berobat
Bila kita menyelam agak lebih jauh ke dalam pembahasan para ulama tentang hukum berobat atau mencari kesembuhan dari penyakit (at-Tadawi), sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian mengatakan bahwa berupaya mencari kesembuhan dari penyakit merupakan perintah agama yang hukumnya sunnah. Namun sebagian lainnya justru mengatakan sebaliknya, bagi mereka bersabar adalah lebih utama dan berobat tidak menjadi sunnah atau anjuran dalam agama.
Dalil yang digunakan oleh mereka yang menyunnahkan berobat adalah hadits Rasulullah SAW berikut :
Allah SWT tidak menurunkan penyakit kecuali diturunkan juga obatnya. (Al-Hadits).
Selain itu dahulu Rasulullah SAW pernah berobat dan berupaya untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang pernah menimpanya.
Sedangkan para ulama yang tidak menganjurkan untuk mencari kesembuhan antara lain adalah Al-Imam An-Nawawi rahimahullah. Tertulis dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarah Al-Muhazzab bahwa bersabar dan bertawakkal kepada Allah SWT atas penyakit yang diberikannya adalah lebih utama. Sebagian lainnya mengatakan bahwa orang yang tawakkalnya kuat tidak berupaya mencari kesembuhan, sebaliknya orang yang tawakkalnya lemah mencari kesembuhan.
Selain itu juga ada riwayat dari hadits Rasulullah SAW tentang seorang wanita yang minta didoakan kesembuhan oleh Rasulullah SAW, namun beliau memberikan pilihan untuk bersabar dan mendapat pahala sabar.
Dari Atha` bin Abi Rabah ra berkata,”Ibnu Abbas ra berkata kepadaku,”Maukah aku tunjukkan kamu seorang wanita ahli surga?”. Aku bilang,”Mau”. “Inilah wanita hitam yang datang kepada Nabi SAW meminta,”Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan aku takut pakaianku tersingkap saat datang ayanku. Mintakan kepada Allah untuk kesembuhanku”. Rasulullah SAW menjawab,”Bila kamu mau, bersabarlah maka kamu akan masuk surga. Tapi kalau tidak mau bersabar, aku akan meminta kepada Allah agar kamu segera sembuh”. Wanita itu menjawab,”Aku memilih bersabar, tapi aku tetap takut pakaianku tersingkap saat ayan, mintalah kepada Allah agar saat ayan pakaianku tidak akan tersingkap”. Maka Rasulullah SAW berdoa untuknya. (HR. Bukhari Muslim).
Namun pendapat yang menurut kami lebih kuat adalah yang menganjurkan atau menyunnahkan kita untuk mencari kesembuhan. Sebab hal itu merupakan hal yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW.
2. Bentuk Dan Jenis Pengobatan
Pengobatan dapat dibagi menjadi dua yaitu pengobatan yang dihalalkan dan yang diharamkan. Pengobatan yang dihalalkan adalah segala macam pengobatan yang tidak bertentangan dengan Syariah, al: .
a. Pengobatan nabawi, yang secara jelas teksnya disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits, seperti pengobatan dengan madu, habah sauda’ (jinten hitam ) air zamzam, ruqiyah dengan membacakan alqur’an bagi orang yang kesurupan dan kemasukan jin dll.
b. Pengobatan secara medis, yang secara ilmiyah dapat dipertanggung-jawabakan
c. Pengoabatan secara tradisional, seperti dengan jamu (dengan bahan yang halal dan tidak merusak), refleksi, dan obat-obatan tradisional yang lainnya (dengan bahan yang halal dan tidak merusak).
d. Sedangkan pengobatan yang haram adalah pengobatan yang menyimpang dari Syariah, seperti menggunakan sihir, dukun, meminta bantuan jin. Pernyataan bahwa jin itu muslim, kita tidak dapat mempercayainya seratus persen. Karena jin banyak dustanya dan kita tidak mungkin bisa membuktikan bahwa dia jin itu muslim atau tidak, karena alamnya sudah berbeda. Dan selanjutnya bahwa Allah SWT. Mencela orang yang datang meminta tolong pada jin. (surat Jin : 6). Dan yang banyak terjadi pada pengobatan alternatif adalah secara prinsip mengunakan sihir atau bantuan jin, sedangkan obat-obatan tradisional, atau mungkin dengan disuruh baca al-qur’an dan do’a-do’a hanyalah kamuflase belaka. Maka hati-hatilah agar kita tidak terjerumus pada syirik dan dosa besar lainnya.
3. Pengobatan Alternatif
Manusia sudah mengenal dunia pengobatan seumur dengan manusia itu sendiri. Dunia kedokteran barat hanyalah murid dari dunia kedokteran Islam pada masa kejayaannya. Sayangnya, kedokteran barat pada hari ini terlalu congkak untuk dapat menoleh kepada dunia pengobatan dari luar peradaban mereka sendiri.
Padahal di banyak negeri, pengobatan juga telah banyak mencapai puncaknya. Seperti negeri cina yang kaya dengan pengobatan dan beragam ilmu-ilmunya. Negeri kita pun memiliki banyak orang yang ahli dibidang pengobatan seperti pijat patah tulang dan lainnya. Seharusnya dunia kedokteran modern melakukan penelitian yang lebih luas lagi agar dapat memperkaya khazanah dunia pengobatan dan perawatan pada orang sakit.
Karena mereka kurang mau melihat fenomena yang ada di sekelilingnya, maka beragam jenis pengobatan selain dari dunia kedokteran barat sering dianggap tidak resmi, tidak ilmiyah, tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan seterusnya. Padahal dari segi kenyataan, begitu banyak metode pengobatan yang telah berhasil mengatasi hal-hal yang tidak mampu dikerjakan oleh dokter barat itu. Pengobatan itu sering disebut dengan pengobatan alternatif.
4. Syarat Pengobatan Alternatif Yang Dibenarkan Syariah
Hanya perlu diperhatikan dalam pengobatan alternatif agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang syariat, seperti minta bantuan jin, memberi sesajian atau hal-hal lain yang membawa kepada kemusyrikan.
Diantara ciri-ciri pengobatan alternatif yang diharamkan adalah :
a. Bila terindikasi adanya persembahan kepada selain Allah
Misalnya bila harus ada ketentuan menyembelih nyawa hewan tertentu untuk dipersembahkan sebagai syarat tertentu. Padahal kita diharamkan untuk menyembelih hewan kecuali untuk jenis ibadah tertentu yang terbatas, seperti ibadah qurban, aqiqah, membayar dam haji. Sedangkan penyembelihan yang ditujukan sebagai ritual khusus akan sangat terindikasi sebagai penyembelihan yang tujuannya bukan karena Allah.
Diharamkan bagimu bangkai, darah , daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan yang disembelih untuk berhala. …(QS. Al-Maidah : 3)
b. Bila terindikasi menggunakan jin (makhluq halus)
Misalnya dengan bantuan khadam, jin atau nama-nama lainnya yang intinya adalah makhluq ghaib. Perbuatan ini jelas bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat. Sebab mereka belum pernah berobat dengan menggunakan media jin atau makhluq halus jenis apapun.
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.(QS. Al-Jin : 6))
Yang agak sulit untuk dibedakan adalah bila sang penyembuh tidak mengatakan bahwa pengobatannnya menggunakan makhluq seperti jin. Tetapi menyamarkannya dengan istilah-istilah yang terkesan agak berbau ilmiyah. Misalnya pengobatan dengan menggunakan energi tertentu. Padahal istilah energi adalah kosa kata milik ilmu fisika yang terukur dan jelas jenisnya apakah energi kinetik atau energi potensial. Penggunaan istilah energi dalam kebanyakan pengobatan alternatif cenderung sulit dipisahkan dengan makna yang berbau makhluq halus.
Dan tidak sedikit diantara mereka yang pada awalnya memang semata-mata tidak menggunakan makhluq halus, namun pada tingkat tertentu dari pengobatan itu, barulah jin memainkan peranan. Siasat seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi buat para jin. Sebab bila sejak awal sudah disebutkan ada peranan jin dalam pengobatan itu, biasanya orang-orang akan enggan berobat. Maka jin baru akan digunakan ketika para pasien sudah mulai percaya atas sistem pengobatannya.
Memang demikianlah ciri syetan, selalu punya langkah-langkah yang spesifik dalam menjerat korbannya. Padahal Allah SWT sudah mengingatkan kita agar tidak terperangkap langkah-langkahnya.
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-Baqarah : 168)
c. Bila terindikasi menggunakan cara syirik
Misalnya pasien diminta untuk melakukan tapa di tempat tertentu. Atau memasang jimat tertentu yang hukumnya syirik. Atau diminta untuk mendatangi makam / kuburan keramat tertentu. Padahal baik kuburan maupun mayat yang terbujur kaku di dalamnya sama sekali tidak bisa membela dirinya sendiri, apalagi membagi-bagikan obat untuk orang yang masih hidup.
Tentu tindakan seperti ini adalah bentuk kemusyrikan yang pelakunya diancam tidak akan diampuni dosanya di akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa : 48)
d. Bila terindikasi menggunakan cara-cara yang diharamkan
Misalnya pengobatan dengan meminta pasien meminum air kencingnya sendiri. Padahal air kencing itu hukumnya najis dan haram diminum. Atau dengan memakan makanan yang jelas-jelas telah diharamkan oleh Allah SWT dalam syariat Islam. Misalnya pasien diminta memakan daging babi, daging anjing, atau minum darah serta memakan makanan haram lainnya.
Bila melihat hadits di atas bahwa setiap Allah SWT menurunkan penyakit, maka sudah pasti ada obatnya yang juga Allah turunkan. Tentunya obat itu bukan dari barang yang haram secara syar’i.
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-An’am : 145)

Masuk Gereja Dan Tempat Ibadah Agama Lain

Masuk Gereja Dan Tempat Ibadah Agama Lain

A. Hukum Masuk ke Gereja Dan Tempat Ibadah Agama Lain
Para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim memasuki gereja. Fuqoha Hanafiyah menyatakan bahwa makruh hukumnya seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir karena tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya syetan bukan karena seorang muslim tidak punya hak untuk memasukinya. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 5/248)
Sedangkan Fuqoha Malikiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya. Sedangkan sebahagian yang lainnya mensaratkan harus ada idzin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. (Kasyful Qana’ 1/294, Hasyiyatul jamal 3/572)
Oleh karena itu hukum memasuki gereja seperti halnya untuk menghadiri perkawinan atau mengucapkan bela sungkawa bukanlah sesuatu yang diharamkan selama orang muslim tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan agama. Meskipun demikian, sebaiknya dia tidak melakukannya kecuali jika dianggap perlu dan mendesak.
Sedangkan hukum memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka adalah haram.
Umar ra berkata: “Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan haria agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah 3/442).

B. Hukum Melakukan Shalat di Dalam Gereja Dan Tempat Ibadah Agama Lain
Shalat bagi umat Islam adalah ibadah yang paling utama dan amal yang akan ditanya pertama kali nanti di hari qiyamat. Rasulullah SAW bersabda :
Yang pertama kali akan ditanyakan nanti pada hari qiyamat dari seorang hamba adalah masalah shalat. Bila shalatnya itu baik maka baiklah semua amalnya dan bila shalatnya itu rusak, maka rusaklah semua amalnya.
Berbeda dengan syariat shalat umat terdahulu, shalat dalam Islam boleh dilakukan dimana saja di atas bumi Allah ini. Sedangkan umat terdahulu hanya dibenarkan bila shalat di dalam tempat ibadah khusus mereka saja, seperti shouma`ah, gereja atau biara. Bagi seorang muslim, bila suatu saat dia mendengar azan atau sudah masuk waktu shalat, maka dia bisa melakukan shalat dimana saja. Asal bukan di tempat yang memang terlarang seperti tempat yang najis (WC), tempat sampah dan sejenisnya.
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Aku diberikan kelebihan yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumku”. Dan salah satunya adalah,”Dijadikan bumi (tanah) ini masjid dan suci (untuk tayammum). Maka siapa saja dari umatku mendapatkan waktu shalat maka shalatlah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan hukum shalat di dalam tempat ibadah agama lain, para ulama para umumnya membolehkan namun tetap berbeda pendapat dalam masalah detailnya.
Diriwayatkan bahwa dahulu khalifah Umar bin al-Khattab ra pernah akan melakukan shalat di dalam gereja di Baitul Maqdis. Hanya saja karena pertimbangan politis dan menjaga perasaan hati umat Kristiani yang saat itu baru saja dikalahkan dan tentunya masih terluka, Umar pun mengurungkan niatnya shalat di dalam gereja. Lalu dibuatlah masjid di luar gereja itu dan jadilah masjid Umar. Namun pertimbangannya saat bukan karena larangan shalat di dalam gereja, tetapi pertimbangan politis semata.
Dan para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum memasuki gereja untuk melaksanakan sholat di dalamnya. Sebahagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa seorang muslim diperbolehkan melaksanakan sholat di dalamnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Sya’by, Ibnu Sirin dan Atho yang merupakan fuqoha generasi Tabi’in. Bahkan ada sejumlah sahabat yang melaksanakan sholat di dalam gereja di antaranya Abu Musa Al-Asy’ary.
Imam Bukhari menyatakan bahwa Ibnu Abas berpendapat bahwa melaksanakan sholat di gereja dan lainnya diperbolehkan, kecuali jika di dalamnya terdapat patung atau arca.
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa khalifah Umar ra pernah mendapatkan surat dari penduduk Najran perihal hukum sholat di gereja, karena mereka tidak mendapatkan tempat yang lebih bersih dan lebih baik darinya. Maka Umar berkata: “Bersihkanlah ia dengan air dan daun gaharu dan sholatlah di dalamnya”.
Namun demikian Sejumlah fuqoha Hanafiyah dan As-Syafi’yah menyatakan bahwa melaksanakan sholat di dalam gereja hukumnya makruh. Baik gereja tersebut dipenuhi oleh patung ataupun tidak.

Tasawwuf

Tasawwuf

1. Pengertian Tasawwuf
Tasawwuf dari segi bahasa ada yang mengatakan berasal dari akar kata Shafia yang berarti bersih atau suci. Ada juga yang mengatakan berasal dari akar kata shuff yang berarti wol, jenis bahan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Konon para shufi pada masa lalu banyak yang menggunakan pakaian dari jenis ini. Dan banyak lagi yang menghubungkannya dengan makna lainnya.
Tasawuf dalam bentuk istilah baku memang belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah ini lahir beberapa abad pasca masa hidup RAsulullah SAW.
Namun bila ditilik dari sisi esensi dan tujuan, maka bisa dikatakan bahwa tashawwuf adalah suatu cara orang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan kebersihan hati serta menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau keduniaan. Dengan pengertian seperti ini maka dapat dikatakan bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat adalah para shufi yang selalu mendekatkan diri pada Allah SWT dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Memang dalam fenomena sejarah sering kita dapati para penganut paham tasawuf menggunakan bermacam-macam cara dan metoda dalam melangkah. Dan harus kita terima kenyataan bahwa sebagai ndari jalan yang diambil itu ada yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Baginda Nabi SAW. Sebagaimana banyak pula dari mereka yang tetap berjalan di atas jalan yang lurus dan selamat dari hal-hal dilarang.
2. Contoh Aktifitas Tasawwuf Yang Bertentangan Dengan Syariat :
a. Dalam masalah Aqidah dan Keimanan
Dalam keyakinannya mereka terkadang menyalahi aqidah dan ketetapan yang qath`i yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah. Seperti keyakian bahwa bila telah mencapai tingkat ma`rifat (tingkatan yang tinggi) dalam pandangan mereka, maka seseorang tidak perlu lagi menjalankan syariat. Dia tidak perlu melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Mereka berkeyakinan manusia yang telah mencapai derajat itu sudah bebas tugas dari Allah. Ini adalah paham yang salah dan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena Allah SWT berfirman :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.(QS. Al-Hasyr : 7)
b. Dalam masalah pandangan sempit pada Islam
Yang termasuk dalam kesalahan para pengikut tasawwuf adalah isolasi (memutuskan kontak) terhadap masalah sosial dan kerjanya hanya berzikir di dalam masjid. Mereka tidak bekerja mencari nafkah, tidak mencari ilmu, tidak berdakwah, tidak berjihad dan tidak menolong fakir miskin. Alasan mereka bahwa semua itu adalah aktifitas keduniaan semata. Padahal Islam adalah agama yang sangat memperhatikan hubungan sosial bahkan mewajibkan bekerja karena kerja mencari nafkah adalah ibadah.
Allah berfirman :
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumuah : 10)
Islam mencakup semua aspek kehidupan baik pribadi, keluarga, masyarakat, ekonomi, politik, perang bahkan mengatur negara. Islam adalah agama sekaligus negara. Rasulullah SAW adalah seorang Nabi, pemimpin masyarakat, ahli ekonomi, ahli tata negara, panglima perang, sekaligus juga seorang pendidik dan ayah teladan bagi anak-anaknya. Beliau bekerja mencari nafkah, melakukan aktifitas sosial dan transaksi perdagangan bahkan memimpin penyerbuan dalam perang.
Bila pandangan sebagian pengikut tasawwuf seperti ini, berarti mereka telah beriman pada sebagian ayat dan mengingkari ayat yang lain, persis sebagaiman Bani Israil melakukannya. Karena Al-Quran sendiri mengatur seluruh sisi kehidupan manusia.
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.(QS AL-Baqarah : 85)
c. Dalam masalah Tata Cara
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, ada diantara mereka yang melakukan tari-tarian dan gerakan badan yang pada titik tertentu seperti orang kesurupan, melafalkan kalimat-kalimat aneh yang tidak diajarkan oleh Nabi, bahkan terkadang meminum khamar dan cara-cara yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Dengan cara itu mereka beranggapan telah sampai dan bertemu dengan Allah, padahal mereka telah ditipu oleh Syetan. Atau ada yang melakukan jenis ibadah tertentu seperti puasa wishal (bersambung) yang telah diharamkan, atau mengharamkan jenis makanan tertentu yang Allah halalkan dan sebaliknya.
Firman Allah SWT :
Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam. (QS. Al-Ankabut – 28)
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al-An`am : 108)

Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu. Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya. Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama Mani’; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal. Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka, sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan kewajibannya.
Lalu Nabi saw. menegurnya dengan sabdanya: “Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya.” Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, “Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya.” Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan beribadat sepanjang malam.” Sedang yang lainnya mengatakan, “Aku tidak akan menikah.” Kemudian hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau: “Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku.” Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini. Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam). Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja. Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktik yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktikkan teori di luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka. Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul: “Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin,” yang artinya “Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan.” Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah, “Iyyaaka na’budu waiyyaaka nastaiin.”
Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam. Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni.
Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
Kesimpulan :
• Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.
• Tidak semua tasawwuf bid`ah dan sesat, selama tasawwuf itu berpegang pada dasar syariat yang benar.

Kedatangan Dajjal

Kedatangan Dajjal, Imam Al-Mahdi dan Nabi Isa as1. Dajjal
Dajjal adalah seorang manusia biasa, ia dinamakan demikian karena ia menutupi kebenaran dengan kebathilan atau dikarenakan ia menyembunyikan kekufurannya di hadapan manusia dengan kedustaan dan tipu dayanya terhadap mereka. Ada sejumlah hadits yang menjelaskan tentang sifat-sifat Dajjal
a. Dalam Sahih Bukhori diriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW pernah memberikan khutbah di hadapan para sahabatnya, lalu beliau menyebutkan Dajjal. Beliau bersabda:
“Aku benar-benar akan memperingatkan kalian tentang Dajjal. Tidak ada seorang nabi melainkan ia pernah memperingatkan kaumnya tentang masalah tersebut. Tetapi aku akan mengatakan kepada kalian suatu ucapan yang belum pernah dikatakan oleh seorang nabi pun sebelumku. Dia itu (Dajjal) picak (bermata sebelah) sedangkan Alloh tidaklah picak” (Sahih Jami’ shogir 3495/ Al-Bany)
b. Hadits lainnya adalah :
Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ” Ketika aku sedang tidur aku mengelilingi di Ka’bah�… (beliau menyebutkan bahwasanya ia melihat Nabi Isa bin Maryam, kemudian melihat Dajjal dan menyebutkan sifat-sifatnya). Ibnu Umar berkata: Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang besar tubuhnya, berwarna merah, rambutnya pendek, matanya picak, seakan-akan matanya itu buah anggur yang mengambang, Mereka berkata: “Ini adalah Dajjal, manusia yang paing menyerupainya adalah Ibnu Quthn seorang laki-laki dari Bani Khuza’ah (Sahih Bukhori 13/90 dan Muslim 2/237).
c. Hadits lainnya adalah :
Dari Nawwas bin Sam’an RA, ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda berkaitan sifat Dajjal: “Dia itu seorang pemuda, rambutnya pendek, matanya mengambang, seakan-akan aku menyerupakannya denga Abdul ‘izz bin Qathn” (Sahih Muslim 18/65)
Dan ia dinamakan dengan Masihid Dajjal karena salah satu matanya, yaitu mata kanannya tertutup (picak). Ia akan keluar pada saat kaum muslimin sedang memiliki kekuatan besar dan keluarnya dia adalah untuk mengalahkan kekuatan tersebut.
d. Hadits lainnya adalah hadits yang menjeaslkan bahwa tertulis di antara dua matanya “Kaafir” atau “Kafara” sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW:
Sesungguhnya di antara kedua matanya tertulis kaafir” (HR Bukhori 13/91 dan Muslim 18/59)
Keluarnya Dajjal merupakan salah satu tanda kiamat kubro. Sebelum Dajjal keluar, manusia diuji dengan kemarau dan kelaparan, serta tidak turunnya hujan dan matinya pepohonan.
e. Hadits lainnya menjelaskan tentang Dajjal yang akan keluar dari arah timur tepatnya dari negri Khurosan atau Syihristaan. Kemudia ia akan mengembara ke seluruh penjuru bumi. Ia akan memasuki setiap negeri kecuali Makkah dan Madinah karena para malaikan menjaganya.
Dari Abu Bakar ash-Shidiq RA ia berkata: Rasulullah SAW menceritakan kepada kami tentang Dajjal, beliau bersabda: “Dajjal akan keluar dari negeri sebelah timur yang disebut Khurosan” (Tirmidzy 6/495)
Dari Fatimah bin Qais RA; Dajjal berkata: “Maka aku keluar dan aku menelusuri seluruh negeri, aku tidak meninggalkan suatu negeri kecuali aku telah tinggal di dalamnya selam 40 hari. Kecuali kota Makkah dan Madinah. Keua kota tersebut diharamkan bagiku. Setiap kali aku akan memasuki salah satu dari keduanya. Seorang malaikat akan menghalangiku dengan pedang terhunus. Dan di setiap pelosok negeri tersebut ada malaikat yang menjaganya” (Shohih Muslim 18/83)
f. Hadits lainnya menjelaskan diantara shifat Dajjal lainnya yaitu ia akan mengaku dirinya sebagai tuhan dan ia akan melakukan hal-hal yang aneh untuk membenarkan pengakuannya dan menarik orang-orang agar menjadi pengikutnya.
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang mendengar tentang kedatangan Dajjal, hendaklah ia menjauhinya. Demi Alloh sesungguhnya seseorang akan mendatanginya dan ia menyangka bahwa dirinya seorang yang beriman, lalu ia mengikutinya yang dapat menimbulkan berbagai syubuhaat” (Sahih Jami’ shogir 6301/ Al-Bany)
g. Dalam hadits lainnya dijelaskan bahwa
Dajjal tersebut akan datang sambil membawa neraka dan surga. Surganya adalah neraka, dan nerakanya adalah surga, dan ia memiliki sungai yang penuh dengan air, gunung dari roti. Ia kan menyuruh langit untuk merunkan hujan, mak hujan pun turun dan menyuruh bumi untuk menumbuhkan beraneka macam tumbuhan maka tumbuhlah tanaman tersebut. Dan ia kan menempuh perjalan dengan cepat, secepat air hujan yang ditiup angin, dan keanehan-keanehan lainnya (HR Muslim 18/65-66)
Dari Jabir bin Abdillah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Akan tetap ada dari umatku yang berjuang dalam haq dan eksis terus hingga hari kiamat. Kemudian Nabi Isa bin Maryam turun. Lalu pemimpin umat Islam saat iu berkata kepada Nabi Isa,”Kemarilah dan jadilah imam dalam shalat kami”. Namun Nabi Isa menjawab,”Tidak, kalian menjadi peminpin di antara kalian sendiri . Sebagai bentuk pemuliaan Allah atas umat ini”.
Rasulullah SAW bersabda,”Nabi Isa masih tetap tinggal di bumi hingga terbunuhnya Dajjal selama 40 tahun, lalu Allah mewafatkannya dan dishalatkan jenazahnya oleh umat Islam. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hiban, Al-Hakim dan dishahihkan oleh az-Zahabi)

2. Imam Mahdi
Ada banyak hadits yang menerangkan sosok Al-Mahdi itu dan merupakan kewajiban kita untuk mempercayainya sesuai dengan apa yang kita terima dari Rasulullah SAW, tanpa menafsirkan, mentakwilkan atau menolaknya.
Al-Mahdi menurut hadits-hadits yang kita terima adalah sosok manusia yang Allah akan turunkan di akhir zaman, meksi tidak ada riwayat yang memastikan kapan kejadian itu. Selain itu, dijelaskan bahwa beliau adalah merupakan ahli bait Rasulullah SAW.
Untuk memastikan apakah dia benar Al-Mahdi yang dimaksud, ada ciri-ciri yang telah disebutkan, yang paling penting diantaranya adalah bahwa beliau akan mengisi bumi ini dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan kerusakan.
Diantara hadits itu antara lain :
Dari Ibnu Mas`ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bila tidak kekal dunia ini kecuali sehari saja, maka Allah akan panjangkan hari itu hingga Dia mengutus seseorang dari aku atau dari ahli baitku, namanya sesuai dengan namaku dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku. Dia akan memenuhi dunia dengan keadilan dan qisth sebagaimana dunia ini sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan al-Juur. (HR. At-Tirmizy dalam kitab Fitan dan haditsnya hasan shahih).
Dijelaskan bahwa kedatangan Al-Mahdi ini sebelum turunnya Nabi Isa as. yang akan memberi petunjuk kepada banyak manusia dan menegakkan hujjah Allah SWT.
Dari Ali bin Abi Tholib Ra ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: ” Al-Mahdi dari golongan kami, Ahlul Bait, Allah memperbaikinya dalam satu malam” ( (Musnad Ahmad 2/58 dan sunan Ibnu Majah 2/1367. Hadis ini ditashih oleh Al-Bani dalam Shohih Al-Jami’ Ash-Shogir 6/22)

3. Nabi Isa
Diantara tanda-tanda datangnya hari kiamat kubro adalah turnnya Nabi Isa as. Beliau akan menjadi muslimin atau bagian dari umat Islam, menghancurkan salib dan menghancurkan berhala. Karena risalah yang beliau bawa adalah risalah yang bersumber dari Allah juga.
Namun turunnya beliau bukan sebagai nabi lagi karena setelah diangkatnya Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir, maka tidak ada lagi nabi yang turun ke bumi dengan membawa risalah dari langit.
Karena itu Nabi Isa kedudukannya bukan sebagai Nabi lagi, tapi bagian dari umat Islam ini, berkitab suci Al-Quran, mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat menghadap ka’bah, puasa Ramadhan, berhaji ke Mekkah dan menjalankan syariat Islam yang kita terapkan saat itu.
Semua keteragan itu kita dapatkan dari hadits-hatis Rasulullah yang sampai kepada kita, antara lain:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, Nyaris akan turun kepada kalian putera Maryam (Nabi Isa as) menjadi hakim yang adil, menghancurkan salib dan membunuh babi dan memungut jizyah dan memenuhi harta … HR Muslim dalam kitab Iman bab turunnya Isa)
Dari Jabir bin Abdillah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Akan tetap ada dari umatku yang berjuang dalam haq dan eksis terus hingga hari kiamat. Kemudian Nabi Isa bin Maryam turun. Lalu pemimpin umat Islam saat iu berkata kepada Nabi Isa,”Kemarilah dan jadilah imam dalam shalat kami”. Namun Nabi Isa menjawab,”Tidak, kalian menjadi peminpin di antara kalian sendiri . Sebagai bentuk pemuliaan Allah atas umat ini”.
Rasulullah SAW bersabda,”Nabi Isa masih tetap tinggal di bumi hingga terbunuhnya Dajjal selama 40 tahun, lalu Allah mewafatkannya dan dishalatkan jenazahnya oleh umat Islam. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hiban, Al-Hakim dan dishahihkan oleh az-Zahabi)
Untuk lebih dalamnya pembahasan ini, silahkan merujuk pada kitab An-Nihayah karya Ibnu Katsir. Juga buku Asyrotus-Saa’ah (Tanda-tanda kiamat) karangan Yusuf bin Abdulloh bin Yusuf Al Wabil serta An-Nihayah Fil Fitan Wal malahim (fitnah dan huru hara) karya Ibnu Katsir.

Mengirim Pahala Buat Orang Meninggal

Mengirim Pahala Buat Orang Meninggal

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdo’a dan menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia. Masalah ini seringkali menjadi titik perbedaan antara berbagai kelompok masyarakat. Dan tidak jarang menjadi bahan perseteruan yang berujung kepada terurainya benang persaudaraan.
Seandainya umat Islam ini mau duduk bersama mengkaji semua dalil yang ada, seharusnya perbedaan itu bisa disikapi dengan lebih dewasa dan elegan.
Kita akan mempelajari tiga pendapat yang terkait dengan masalah ini lengkap dengan dalil yang mereka pakai. Baik yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah wafat, atau yang mengatakan sampai atau yang memilah antara keduanya. Sedangkan pilihan anda mau yang mana, semua kembali kepada anda masing-masing.
1. Pahala Tidak Bisa Sampai
Orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang masih hidup. Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:
`Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya` (QS. An-Najm:38-39)
`Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan` (QS. Yaasiin:54)
`Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya`. (QS. Al Baqaraah 286)
Ayat-ayat diatas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama, bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam hadits:
`Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya` (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad).
Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirmkan / dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
2. Ibadah Maliyah Sampai Dan Ibadah Badaniyah Tidak Sampai
Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit.
Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan pendapat Madzhab Malik.
Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:
`Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum` (HR An-Nasa’i).
Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.
Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini :
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:` Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:` saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya` (HR Bukhari).
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:` Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3. Semua Jenis Ibadah Bisa Sampai
Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :` Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami` (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
a. Shalat Jenazah.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
`Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah-bersabda:` Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka` (HR Muslim).
b. Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan
Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:` Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:` mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya` (HR Abu Dawud)
c. Doa Saat Ziarah Kubur
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:
`Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW menjawab, `Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya -insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
d. Sampainya Pahala Sedekah Untuk Mayit
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:` Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:` saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya` (HR Bukhari).
e. Sampainya Pahala Saum Untuk Mayit
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:` Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya` (HR Bukhari dan Muslim)
f. Sampainya Pahala Haji Badal Untuk Mayit
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:` Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
g. Membayarkan Hutang Mayit
Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
Artinya:` Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya` (HR Ahmad)
h. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat.
Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudra mereka yang telah wafat.
Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini. Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam.
Sudah waktunya bagi kita untuk bisa berbagi dengan sesama muslim dan berlapang dada atas perbedaan / khilafiyah dalam masalah agama. Apalagi bila perbedaan itu didasarkan pada dalil-dalil yang memang mengarah kepada perbedaan pendapat. Dan fenomena ini sering terjadi dalam banyak furu` (cabang) dalam agama ini. Tentu sangat tidak layak untuk menafikan pendapat orang lain hanya karena ta`asshub atas pendapat kelompok dan golongan saja.

Syubuhat Islam Liberal

Syubuhat Islam Liberal

I. Liberal
Liberal maknanya adalah kebebasan. Sehingga ketika disematkan kepada kata Islam maka yang dimaksuk adalah membebaskan paham Islam dari ortodoksi dan interpretasi yang selama ini dianggap sudah mapan.
Intinya ingin meliberalkan ajaran Islam dengan semangat membuka ide dan pemikiran-pemikiran yang bersifat liberal (bebas). Sekilas bila dilihat dari sebuah sudutr pandang, memang ada benarnya. Sebab semua orang tahu bahwa di dunia Islam memang terjadi banyak penyimpangan dari garis yang ssungguhnya.
Namun sayangnya, melihat butir-butir pemikiran yang sering dilontarkan oleh para aktifis Islam Liberal terutama pada pemakaian istilah bebas, nampak jelas bahwa bebas yang dimaksud adalah bebas dalam arti mutlak dan absolut. Seseorang punya hak untuk bebas menginterpretasikan makna Islam sebebas-bebasnya, bahkan kalau pun harus bertentangan dengan Al-Quran Al-Karim, sunnah atau dengan tatanan syariah yang selama ini ada, tetap bebas.
Sederhananya, bebas berselisih dengan ajaran Islam itu sendiri baik dalam masalah aqidah, syariah, akhlaq atau masalah lainnya. Sesuatu yang sejak generasi pertama umat Islam dimunculkan oleh Allah SWT dimuka bumi telah disepakati mutlak oleh semua fuqaha, hari ini ingin dibongkar dan diganti dengan pemahaman lain atas nama kebebasan perpikir.
Sehingga yang muncul sebenarnya adalah berkonfrontasi dengan syariat Islam itu sendiri bahkan cenderung justru menjadi tujuan utamanya. Semakin hari semakin nampak bagaimana kata bebas itu dipahami dengan selera mereka. Buktinya hampir tidak ada tulisan dari aktifis Islam Liberal yang mendukung ajaran Islam, tetapi bebas yang muncul adalah justru bebas menghujat ajaran Islam.
Karena itulah jaringan ini sangat disorot oleh para ulama. MUI Jawa Barat pun pernah secara terbuka mengharamkannya. Dan para sesepuh serta ulama NU pun ikut resah. Sehingga mereka merasa perlu memberikan peringatan atas penyelewengan yang dilakukannya.
II. Generasi Berikutnya
JIL adalah perpanjangan generasi dari kalangan sekuler anti Islam di Indonesia selama ini. Menurut mereka, gerakan sekulerisasi yang selama ini berjalan tidak pernah berhasil menjauhkan umat Islam dari agama mereka. Karena umumnya berjalan secara indivual dan terkesan sendiri-sendiri. Apalagi kalangan itu kini sudah mulai ‘tua’ dan tidak lagi terlalu vocal. Dan dalam banyak hal dianggap sudah ‘sadar’ dan ‘kembali’ ke pangkuan keaslian ajaran Islam.
Dan kenyataannya, para tokoh sekuler masa lalu sudah cenderung tidak lagi menghujat-hujat. Entah karena sudah sadar atau sudah kehabisan nafas akibat tidak pernah diterimanya ide-ide sekuler mereka di negeri ini. Kita tidak lagi mendengar ada tokoh yang ingin mengganti ‘assalamu alaikum’ dengan ‘selamat pagi’. Juga kita tidak dengar lagi slogan ‘Islam yes partai Islam no’. Juga kita tidak dengar lagi mereka menghujat pemakaian jilbab yang kini justru sudah sangat memasyarakat.
Sehingga generasi penerus mereka yang masih muda-muda itu merasa perlu mengambil langkah-langkah yang lebih radikal dan lebih vocal lagi untuk akselerasi peruntuhan nilai-nilai keaslian Islam di tengah masyarakat. Dan untuk itu mereka membangun sebuah network / jaringan untuk menyatukan barisan dan menggalang potensi. Agaknya mereka gerah melihat Islam semakin marak dan syariat Islam semakin populer di tengah masyarakat. Apalagi justru sekarang mucul wacana untuk menerapkan syariat Islam di berbagai wilayah di Indonesia.
Tentu saja jaringan ini tidak bisa berjalan kalau tidak disponsori oleh pihak musuh Islam yang memang punya kepentingan. Karena itu berbekal rencana jahat dari musuh Islam, jaringan ini didirikan. Pemikir-pemikir yang tidak senang dengan Islam mereka kumpulkan, baik yang secara resmi menyatakan bergabung atau mencatut nama-nama tokokh tertentu tanpa meminta izin dari yang bersangkutan. Salah satu kasusnya adalah pencatutan nama Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Entah apakah mereka sudah mengoreksinya atau belum, yang jelas mereka sering mengutip-ngutip nama beliau sehingga ada kesan ingin menampilkan opini bahwa Qaradawi pun sepaham dengan misi mereka.
III. Beberapa syubuhat yang sering dilemparkan oleh para tokohnya adalah sebagai berikut :
1. Syubhat Pertama :
Aktifis JIL mengatakan :
“Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.”
Jawaban
Hampir mustahil bila ada seorang muslim yang merasa tidak tahu bahwa jilbab, potong tangan, qishash, rajam itu semata-mata budaya arab. Karena semua itu ada dalilnya dalam Al-Quran dan Sunnah. Kalau jubah dan jenggot, barangkali masih bisa ditolelir bahwa ada faktor budayanya. Khusus masalah jenggot, meski bukan merupakan kewajiban, namun tetap ada nash sunnah nabawiyah yang manganjurkannya. Sedangkan masalah jubah itu memang murni budaya arab yang tidak mengandung tasyri’.
Tapi potong tangan, qishash dan rajam itu bukan sekedar kewajiban, bahkan masuk dalam perkara hudud yang penerapannya sangat mutlak. Tidak ada ulama yang menentangnya sepanjang sejarah kecuali pada zindiq dan munafikin.
Jilbab bukan sekedar pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum. Ini panfsiran yang sesat sekali. Masalahnya, standar kepantasan umum itu apa? Dan umum yang mana? Indian Amerika, Aborigin, suku asmat? Koteka?
Kalau sekedar standar kepantasan umum, seharusnya surat Annur: 31 dan Al-Ahzab: 59 itu dihapus terlebih dahulu. Ganti dengan ayat yang bunyinya “Wahai orang yang beriman, pakailah pakaian yang sesuai dengan selera masing-maisng daerah”. Silahkan buat sendiri nama surat dan nomor ayatnya. Dan bila meminjam logika mereka, toh tidak sulit bagi Tuhan yang kuasa untuk membuat satu ayat seperti itu. Nyata tidak kita temukan ayat dan hadist demikian.
Larangan kawin antara perempuan Islam dan laki-laki non muslim yang mereka katakan tidak relevan lagi, peraturan itu bukan semata-mata dari Al-Quran tapi dari Sunnah dan sumber syriah yang lain. Rupanya mereka ingin mengecoh dengan mengatakan kalau Al-Quran tidak mengatakan secara tegas, berarti boleh digonta-ganti seenaknya. Tidak demikian.
2. Syubhat Kedua :
Aktifis JIL mengatakan :
“Kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. “.
Jawaban :
Ungkapan ini adalah jiplakan total dari para tokoh sekuleris dan orientalis. Sebuah slogan masa lalu yang masih sering dikumandangkan para pengekor yang sudah expired yaitu,`Memisahkan agama dan negara`. Orang barat sekuler sejak dini memang memperkenalkan slogan ini dengan kalimat :
Berikan kepada raja apa yang menjadi hak raja dan berikan kepada tuhan apa yang mejadi hak tuhan.
Barat pernah melakukannya dan kini mereka terpuruk dalam jurang kehancuran moral dan kemanusiaan. Hidup mereka terlalu kering dan hampa. Lalu tenggelam dalam aneka kriminalitas, penyimpangan sosial, kegamangan dan akhirnya kehancuran nilai-nailai kemanusiaan. Jadi ide ini terbukti tidak baik.
Cukuplah barat jadi korban ide liar yang sering dihembuskan oleh para yahudi. Tidak perlu lagi kalangan muslimin tetipu untuk kesekian kalinya lalu silau dengan apa yang telah dipromosikan barat. Padahal mereka sendiri tidak pernah berhasil dengan idenya itu. Bagaimana mungkin ide usang yang tidak pernah berhasil mendatangkan kebahagiaan di negeri mereka itu malah ingin diekspor ke negara berkembang ? Lalu sangat tidak masuk akal bila umat Islam menerima begitu saja ide usang yang terbukti bobrok di barat itu dan menelannya mentah-mentah.
Entahlah apa yang telah membuat sebagian kalangan pemikir Islam masih saja tidak bisa melepaskan keterpesonaan mereka pada fatamorgana dari barat. Barangkali karena secara mental memang masih dalam taraf kekerdilan dan karakter keterjajahan yang akut.
Padahal Islam adalah sebuah sistema yang lengkap mengatur semua sisi kehidupan. Bukankah Allah SWT telah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-Baqarah : 208)
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab , kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(QS. Al-An`am : 38)
3. Syubhat Ketiga :
Aktifis JIL mengatakan :
“Islam -seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain- adalah `nilai generis` yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran `Islam` bisa ada dalam filsafat Marxisme. ”
Jawaban :
Kalimat ini mudah sekali dibengkokkan maksudnya. Bila kita arahkan pada kalimat terakhir, jelas mereka mengatakan bahwa kebenaran Islam bisa ada dalam filsafat marxisme. Di satu sisi memang benar, tetapi bisa saja ditafsirkan terbalik, bahwa marxisme itu pun mengandung nilai-nilai kebenaran Islam. Penafsiran terbalik ini mungkin yang mereka harapkan untuk dipahami demikian, tetapi mereka pasti sudah siap-siap menghindar bila dituduh menyamakan Islam dengan marxisme dengan menggunakan gaya ungkapan ‘bisa jadi’.
Bahwa ada sititik nilai di dalam agama dan ajaran lain yang juga terdapat dalam Islam, itu sudah pasti. Hanya saja masalahnya apakah bila ada setitik persamaan lalu dikatakan bahwa Islam itu identik dengan marksisme, budhisme, konghuchu dan seterusnya ? Atau mungkinkah dikatakan bahwa Islam itu adalah marksisme lalu marksisme adalah Islam ? Ini sungguh logika yang terlalu sederhana.
Sebenarnya 6000-an ayat lebih di dalam Al-Quran telah menjadi batas yang sangat jelas mana yang haq dan mana yang batil. Intinya, kurang satu titik saja dari kompsisi ajaran Islam sudah dianggap bermasalah. Meski penampilan luar sudah Islam, tapi masih saja menerima teori Darwin yang mengatakan bahwa asal usul manusia dari kera, jelas sebuah kesalahan fatal dalam aqidah. Apalagi bila Islam disandingkan dengan marksisme, maka dalam ukuran 1000, yang sama barangkali hanya 3 atau empat point saja. Selebihnya adalah perbedaan-perbedaan yang mendasar dan tidak bisa dipertemukan.
Menyamakan marksisme serta agama-agama lain dengan Islam adalah sebuah ide yang menjelaskan betapa kurangnya logika seseorang.

4. Syubhat Keempat :
Aktifis JIL mengatakan :
“Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi. ”
Jawaban :
Ungkapan ini sangat subjektif dan terlalu jauh. Umat Islam memang tidak berdaya dan punya masalah menghimpit. Tetapi penegakan syariah bukan sekedar berangkat dari ketidakberdayaan apalagi meninggalkan cara rasional. Dalam alam pikiran mereka, pokoknya yang berbau syariah berarti tidak rational. Jelas ini pelecehan sepihak.
Padahal yang benar adalah sebaliknya bahwa syariah itu sangat rasional. Sebagai contoh, bunga dari hutang luar negeri kita tiap hari mencapai 20 juta US. Ini akibat dari diterapkanya sistem bunga yang ribawi dan dimusuhi semua agama. Islam datang dengan solusi rasional, hilangkan riba dan ganti dengan bagi hasil dimana semua pihak punya tanggung-jawab dan bisa sama-sama untung. Maka bunga dari hutang negara miskin macam Indonesia justru tidak rational.
Kalau pencuri hanya sekedar dipenjara, maka tidak ada lagi ruang yang cukup untuk menampung para pencuri di negeri ini. Selain itu, negara pun dirugikan karena harus memberi makan, pakaian, kesehatan dan sebagainya kepada ribuan pencuri yang menghuni penjara. Islam datang dengan solusi rasional dan hemat. Pencuri dengan nisab yang memadai dan terbukti secara sah, potonglah tangannya. Ini menjadi pelajaran bagi calon pencuri yang lain untuk tidak main-main dengan hukum. Uang belanja negara pun hemat karena tidak perlu memberi makan, pakaian dan semua biaya penjara. Dan shok terapi ini selama 15 abad lamanya terbukti majur. Negeri yang masih menjalankan potong tangan adalah negeri teraman di dunia dari segi pencurian. Silahkan gunakan rasio dan tinggalkan tuduhan mengada-ada.

5. Syubhat Kelima :
Aktifis JIL mengatakan :
“Pandangan bahwa syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.”
Jawaban :
Memang syariah Islam itu datang dari Allah bukan dalam bentuk jadi seperti sebuah kitab undang-undang hukum pidana lengkap dengan bab dan pasalnya. Semua itu membutuhkan kodifikasi dan penyusunan ulang yang -alhamdulillah- sebagian besarnya telah dikerjakan oleh para ulama terdahulu.
Tapi dalam penyusunan itu, tidak ada nilai yang dibuang dan tak satupun aturan itu yang diselewengkan. Namun menurut mereka seolah-olah semua produk syariah itu merupakan kemalasan berpikir atau lari dari masalah. Padahal para ulama ketika menyusun kitab-kitab fiqih telah melakukan ijtihad yang sangat dalam dan sampai hari ini pintu ijtihad itu tidak pernah tertutup. Terutama pada hal-hal yang terkait dengan perkembangan zaman dan budaya. Tapi kalau masalah yang memang tidak memerlukan perubahan karena akan selalu sama kapan dan dimanapun, buat apa diotak-atik lagi.

6. Syubhat Keenam :
Aktifis JIL mengatakan :
“Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3: 19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”
Jawaban :
Paragraf yang ini intinya jelas ingin mengatakan bahwa semua agama sama, karena intinya semua menuju kepada kebenaran. Dengan gaya bahasa ini, diharapkan orang akan menfsirkan bahwa terserah kita mau beragama apa, toh semuanya baik. Bahkan pada waktunya, berpindah-pindah agama pun tidak apa-apa toh semuanya juga menuju kepada kebenaran. Juga diharapkan orang tidak perlu lagi merasa bahwa agama yang dianutnya adalah paling benar, karena mungkin saja salah.
Para aktifis Islam Liberal itu lupa barangkali bahwa pendpatnya ini pun mungkin benar dan mungkin salah. Dan kalau salah, berarti agama yang benar itu adalah Islam dan yang lain salah. Atau sebaliknya.
Dan kalimat ini menjadi sangat beresiko bila dipandang dari sudut aqidah Islam, karena bisa menarik orang kepada kesimpulan bahwa agama selain Islam itu juga benar. Dan pada derajat tertentu sebenarnya sudah bisa membuat seseorang yang meyakininya gugur ke-Islamannya. Artinya oirang yang meyakini pernyatan ini dianggap murtad dan konsekuensi dari kemurtadannya itu harus dihukum mati.
Meskipun prosesnya harus melalui sebuah mahkamah syar`iyah dan istitabah. Yaitu diminta untuk mencabut pernyataan yang mengandung kalimat kufur. Bila istitabah tidak diindahkan dan masih tetap pada pendirian kufurnya itu, hakim berhak memvonis mati. Darahnya pun menjadi halal. Sayangnya Indonesia tidak mengakui hukum Islam, sehingga ada ribuan orang yang murtad dan menghujat agama, bisa tenang-tentang saja hidupnya.

Ucapan Selamat Natal

Ucapan Selamat Natal

1. Perbedaan Pendapat Atas Hukum Mengucapkan Selamat Natal
a. Pendapat Yang Membolehkan
Ternyata kalau kita jeli dan cermat, memang hukum mengucapkan selamat kepada non muslim yang sedang merayakan hari agama mereka tidak bulat. Sebab ada sebagian ulama yang memandang bahwa hal itu boleh dilakukan dan ada juga yang 180 derajat berbeda pandangan.
Buat kalangan yang tidak mengharamkannya bahwa mengucapkan selamat itu hanya bagian dari tata cara sopan santun dan etika sesama pemeluk agama, tidak terkait dengan masalah aqidah.�
Diantara yang berpendapat demikian adalah Syeikh Dr. Mustafa az-Zarqa, sebagaimana dirilis dalam fatwa beliau pada islamonline.net .Beliau menambahkan bahwa pada hakikatnya, Nabi Isa as itu pun juga nabi bagi umat Islam, bahkan peringkatnya adalah ulul azmi. Sehingga wajar pula bila kita ikut menghormatinya, tanpa harus menjadikannya sebagai tuhan atau anak tuhan.�
Beliau juga berhujjah bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah seorang yahudi yang meninggal. Berdirinya beliau SAW dalam hal ini tidak bisa dikaitkan dengan masalah keimanan. Sebab penghormatan beliau hanyalah sekedar etika dan sopan santun belaka.�
Sedangkan menurut Syeikh Prof Dr. Abdussattar, dosen tafsir pada Universitas Al-Azhar Mesir, masalah itu harus dibedakan terlebih dahulu. Bila ucapan selamat itu diberikan tanpa bertentangan dengan hukum syariah, maka hal itu dibenarkan. Tetapi bila terkait dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum syariah seperti ucapan,”Selamat natal…Semoga Allah SWT memberikan keberkahan kepada Anda sekeluarga”, atau yang sejenisnya, maka ucapan itu haram. Sebab kita diharamkan mendoakan orang kafir agar bisa mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Tapi kalau ucapannya seperti,”Semoga Allah menurunkan taufiq dan hidayah-Nya kepadamu”, maka doa ini dibenarkan. Sebab kita dibolehkan untuk berdoa kepada Allah agar orang kafir bisa mendapat hidayah.�
Beliau juga membolehkan umat Islam memberikan hadiah kepada pemeluk nasrani dalam rangka perayaan natal mereka, sebagaimana fatwa beliau di islamonline.net
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi, seorang ulama yang termasyhur dalam fatwa beliau di islamonline.net,�
“Adalah menjadi hak para setiap kelompok masyarakat untuk merayakan hari besar agama mereka selama tidak menyakiti orang lain. Juga merupakan hak mereka untuk memberikan ucapan selamat kepada orang lain atas hari raya mereka. Kita sebagai muslim, agama kita juga tidak melarang untuk memberikan ucapan selamat hari raya kepada warga atau tetangga kita yang nasrani. Ini termasuk bagian dari perbuatan baik kepada sesama pemeluk agama, sebagaimana firman� Allah SWT :�
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(QS. Al-Mumtahanah : 8)
Terutama bila mereka pun memberikan ucapan selamat kepada kita umat Islam ketika hari raya kita. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman :
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu . Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.(QS. An-Nisa : 86)
Kita juga menemukan di situs yang sama pendapat dari Prof. Dr. As-Sayyid Dasuqi, dosen syariah di Universitas Qatar yang juga membolehkan ucpan selamat natal dari seorang muslim kepada pemeluk nasrani di hari raya mereka.�
b. Pendapat Yang Mengharamkan
Namun tidak sedikit kalangan ulama yang justru mengharamkannya. Sebab menurut mereka mengucapkan selamat natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekedar basa-basi antar agama. Karena tiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing.
Salah satunya adalah Dr. Muhammad Fuad Al-Barrazy, anggota Dewan Penelitian dan Fatwa Eropa (Al-Majelis Al-Urubi li Al-Buhuts wa Al-Ifta`). Beliau dengan tegas berkata,”Saya tidak membolehkan untuk memberikan ucapan selamat hari raya kepada mereka (pemeluk agama lain), juga tidak membenarkan untuk saling bertukar hadiah dalam kaitan itu”.�
Demikian juga dengan fatwa dari Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Lajnah Daimah) tentang Perayaan Milenium Baru tahun 2000, yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh. Diantara kutipan fatwanya adalah sebagai berikut :
Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, “Selamat hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid’ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah”.
Hal senada juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-�Utsaimin ketika ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal. Beliau menjawab bahwa mengucapkan selamat natal atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (ijma�). Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya Ahkam Ahl adz-Dzimmah.�
Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi�ar-syi�ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, �Semoga Hari raya anda diberkahi� atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan amat dimurka lagi bila memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid�ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi Kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.�
Beliau menambahkan bahwa bila non muslim mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta�ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari�atkan di dalam agama mereka akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad SAW diutus Allah kepada seluruh makhluk. (Lihat Majmu� Fatawa Fadl�lah asy-Syaikh Muhammad bin Sh�lih al-�Utsaimin, Jilid.III, h.44-46, No.403)
* * *
Karena itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesederhana yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadatian itu punya makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal cuma dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Dalam hal ini pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) natal kepada nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Benar bahwa muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi bila mereka zimmi. Namun perlu diberi garis tengah yang jelas. Manakah batasan hormat dan ridha disini. Hormat adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.
Kita hormati nasrani karena memang itu kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang menjadi batas tegas disini.
Jangan sampai ada perasaan takut di hati para tokoh agama kita bila belum mengucapkan selamat natal, maka kita kurang toleran, kurang ramah dan kurang menghargai agama lain. Ini penyakit kejiwaan yang hingga dalam lubuk sanubari kebanyakan kita. Sehingga terkadang menjelma menjadi sikap yang kurang tepat. Bila kita tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan.
Adanya orang nasrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri dimana umat Islam minoritas, bagaimana mereka diteror, dipaksa, dipersulit, dibuat tidak betah, diganggu dan dianiyaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun dimana ada umat Islam yang minoritas baik eropa, amerika, australia dan sebagainya.
Jadi tidak mengucapkan selamat natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.
Nabi Isa itu memang nabi kita juga dan kita wajib beriman atas kenabiannya. Tetapi dalam perayaan natal, memang ada masalah mendasar di luar urusan memberi ucapan selamat.
Pertama, masalah ketidak-benaran tanggal atau bulan kelahiran Nabi Isa as itu sendiri. Sehingga kalau toh kita ingin mengucapkan selamat natal pada saat seperti itu, benarkah 25 Desember itu adalah hari lahirnya ?
Kedua, kalaulah benar belai lahir pada tanggal itu, apakah bisa dibenarkan mengucapkan selamat atas hari lahir seorang nabi Isa as ? Padahal pada hari lahirnya nabi Muhammad sekalipun kita tidak diajarkan untuk saling mengucapkan selamat hari lahir. Bagaimana mungkin pada hari lahirnya Isa kita memberikan ucapan selamat ?
2. Penyelewengan Makna Ayat Al-Quran Al-Kariem
Seorang tokoh yang sering disebut mufassir di negeri ini pernah menuliskan sebuah syuhbat yang cukup meresahkan umat Islam. Sebagai orang yang dianggap tokoh dalam ilmu tafsir, ketika beliau menyitir ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem dan mengambil istinbath hukumnya, maka wajar bila umat Islam banyak yang menerima begitu saja ijtihadnya.
Tema yang diangkatnya adalah tentang ucapan selamat natal yang disampaikan muslim kepada umat kristiani. Padahal Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya umat Islam ikut menghadiri perayaan natal itu, termasuk memberikan ucapan selamat.
Namun dengan menyitir ayat Al-Quran Al-Kariem, seolah-olah Al-Quran Al-Kariem melegitimasi ucapan selamat natal itu. Lengkapnya ayat itu adalah ayat yang ada di surat Maryam dan disebutkan dua kali. Allah SWT berfirman yang artinya :
Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku shalat dan zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (QS. Maryam : 30-36)
Untuk menjawab syuhbat atas kebolehan memberi ucapan selamat natal dengan hujjah ayat ini, ada beberapa hal yang perlu kita cermati dengan baik. Agar kita tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan hanya berdasarkan sebuah ayat yang makna dan konteksnya tidak tepat.
1. Ucapan salam sejahtera yang ada di dalam ayat itu merupakan ucapan bayi Nabi Isa as untuk menjawab cemoohan dan ejekan orang-orang yang memusuhi Maryam, ibunda Nabi Isa. Sama sekali tidak mengandung hukum tentang sunnah atau masyru’iyah untuk mengucapkan selamat sejahtera pada tiap ulang tahun kelahiran nabi Isa. Bahkan murid-murid nabi Isa (al-Hawariyyun) juga tidak pernah mengucapkan selamat ulang tahun atau selamat hari lahir kepada nabi mereka saat nabi Isa masih hidup. Apalagi setelah beliau diangkat ke langit.
2. Sehingga kalaulah mengucapkan selamat itu menjadi dibolehkan, maka seharusnya para shahabat terdekat nabi Isa yang melakukannya. Tapi kita sama sekali tidak mendapat keterangan tentang itu. Bahkan Nabi Isa sendiri tidak pernah memintanya atau mensyariatkannya.
3. Selain itu sebagaimana yang tertera dalam ayat itu, kalimat itu menunjukkan bahwa salam sejahtera pada kepada nabi Isa. Bukan pada hari kelahirannya dan bukan juga pada setiap ulang tahun kelahirannya. Ini dua hal yang sangat jauh berbeda.
Bolehlah kita mengucapkan selamat natal bila bunyi ayatnya seperti ini : “Wahai umat Islam, bila pemeluk kristen merayakan natal, maka ucapkanlah : selamat natal”.
Tapi demi Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Benar, tidak ada sama sekali ayat itu dalam Al-Quran Al-Karim, tidak juga dalam Injil, Taurat ataupun Zabur. Ayat Al-Quran Al-Karim itu hanya mengatakan bahwa pada hari lahirnya, meninggal dan dibangkitkan semoga dirinya selamat dan sejahtera. Bunyinya adalah “Salamun Alayya” Semoga aku selamat atau semoga Allah mensejahterakan atau menyelamatkan diriku. Bukan harinya yang sejahtera atau selamat.
4. Dalam tafsir yang lurus disebutkan bahwa kalimat Selamat atasku yang dimaksud pada ayat itu adalah selamat dari gangguan syetan, yaitu pada tiga momentum : pada hari kelahiran, kematian dan kebangkitan kembali. Maksudnya bahwa syetan tidak bisa mengganggu nabi Isa as dan tidak bisa mencelakakannya terutama pada tiga momentum itu.
5. Kalaulah salam itu ditafsirkan sebagai ungkapan atau ucapan salam maka mengirim salam, maka salam itu adalah salam kepada nabi Isa alaihis salam. Dan mengucapkan kepada para nabi dan rasul memang dibenarkan dan disyariatkan dalam syariah islam. Dan sebagai muslim, kita mengakui kenabian Isa as serta posisinya sebagai nabi dan rasul. Untuk itu kita juga disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada diri beliau.
Namun hal itu jelas jauh berbeda dengan memberi ucapan selamat natal kepada orang kafir. Karena kalangan nasrani itu melakukan kemusyirikan dengan menjadikan nabi Isa sebagai tuhan selain dari Allah SWT. Dan kemusyrikannya itu dirayakan dalam bentuk perayaan natal. Mereka dengan segala keyakinannya mengatakan bahwa pada tanggal 25 Desember itu TUHAN telah lahir. Ini adalah kemusyrikan yang nyata dan terang sekali. Dan mengucapkan selamat natal kepada mereka yang sedang merayakan kemusyrikan berarti ikut meredhai dan mendukung kemusyrikan itu sendiri.
6. Karena itu sudah terlalu jelas perbedaannya antara bersalawat kepada nabi Isa sebagai nabi dengan menyembah nabi Isa atau menjadikannya sebagai tuhan. Sehingga hanya mereka yang agak rancu pikirannya saja yang memahami ayat ini sebagai ayat yang memerintahkan kita untuk mengucapkan selamat natal kepada orang kafir.
7. Selain itu yang jelas tidak bisa diterima adalah penetuan hari lahir nabi Isa sendiri yang tidak didukung fakta ilmiyah atau pun dalil yang benar. Tidak ada data akurat pada tanggal berapakah beliau itu lahir. Yang jelas 25 Desember itu bukanlah hari lahirnya karena itu adalah hari kelahiran anak Dewa Matahari di cerita mitos Eropa kuno. Mitos itu pada sekian ratus tahun setelah wafatnya nabi Isa masuk begitu saja ke dalam ajaran kristen lalu diyakini sebagai hari lahir beliau. Padahal tidak ada satu pun ahli sejarah yang membernarkannya. Bahkan Britihs Encylopedia dan American Ensylcopedia sepakat bahwa 25 bukanlah hari lahirnya Isa as.
Apalagi di tengah kancah tarik menarik antar muslim dengan nasrani dimana mereka telah menjadikan bangsa ini sebagai sasaran kristenisasi secara tegas dan terang-terangan. Maka segala upaya untuk memurtadkan umat Islam pastilah dilakukan. Dan salah satu caranya dengan mengadakan natal bersama atau mencari tokoh Islam yang membolehkan ucapan selamat natal. Dengan demikian, terbukalah pintu untuk pemurtadan bangsa yang sejak dahulu telah menjadi pemeluk Islam.
***
4. Hukum Ikut Dalam Ibadah Non Muslim
Hukum memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka adalah haram. Umar Ra berkata: “janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan haria agama mereka, karena kemarahan Alloh akan turun kepada mereka” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah 3/442).
Dan hukum hadir dalam perayakan hari besar umat lain merupakan hal yang terlarang dalam agama kita. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
Dan orang-orang yang tidak memberikan mengahadiri Az-Zuur. (QS. Al-Furqan : 72).
Para mufassirin menerjemahkan bahwa yang dimaksud dengan menghadiri az-Zuur adalah menghadiri hari raya agama lain atau perayaan orang-orang musyrikin.
***

5. Hukum Masuk Rumah Ibadah Agama Lain
Para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim memasuki gereja.
Fuqoha Malikiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya. Sedangkan sebahagian yang lainnya mensaratkan harus ada idzin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. (Kasyful Qana’ 1/294, Hasyiyatul jamal 3/572)
Sedangkan fuqoha Hanafiyah menyatakan bahwa makruh hukumnya seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir karena tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya syetan bukan karena seorang muslim tidak punya hak untuk memasukinya. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 5/248)
Oleh karena itu, memasuki gereja pada dasarnya bukanlah sesuatu yang diharamkan selama orang muslim tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan agama. Meskipun demikian, sebaiknya dia tidak melakukannya kecuali jika dianggap perlu dan mendesak.
Yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukum seorang muslim melaksankan sholat di dalam gereja dan sebaginya?. Para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum memasuki gereja untuk melaksanakan sholat di dalamnya.
Sebahagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa seorang muslim diperbolehkan melaksanakn sholat di dalamnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Sya’by, Ibnu Sirin dan Atho yang merupakan fuqoha generasi Tabi’in. Bahkan ada sejumlah sahabat yang melaksankan sholat di dalam gereja di antaranya Abu Musa Al-Asy’ary.
Imam Bukhori menyatakan bahwa Ibnu Abas berpendapat bahwa melaksanakan sholat di gereja dan lain sebaginya diperbolehkan, kecuali jika di dalamnya terdapat patung atau arca.
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Umar pernah mendapatkan surat dari penduduk Najran perihal hukum sholat di gereja, karena mereka tidak mendapatkan tempat yang lebih bersih dan lebih baik darinya. Maka Umar berkata: “Bersihkanlah ia dengan air dan daun gaharu dan sholatlah di dalamnya”.
Masih tentang Umar, beliau pernah akan melakukan shalat di dalam gereja di Baitul Maqdis. Hanya saja karena pertimbangan politis dan menjaga perasaan hati umat Kristiani yang saat itu baru saja dikalahkan dan tentunya masih terluka, Umar pun mengurungkan niatnya shalat di dalam gereja. Lalu dibuatlah masjid di luar gereja itu dan jadilah masjid Umar. Namun pertimbangannya saat bukan karena larangan shalat di dalam gereja, tetapi pertimbangan politis semata. Namun demikian Sejumlah fuqoha Hafiyah dan Syafi’yah menyatakan bahwa melaksanakan sholat di dalam gereja hukumnya makruh. Baik gereja tersebut dipenuhi oleh patung ataupun tidak.